Rabu, 06 Agustus 2008

Kabar Saya





Aktivis anti WTO dari Indonesia dibebaskan


19:16internasional / globalisasi / news report
Setelah ditahan selama 2 hari, aktivis Indonesia yang ditangkap bersama 1000an aktivis anti-WTO lainnya di Hong Kong, telah dibebaskan.
Mereka adalah: Henry Saragih, Mohammad Ikhwan, Achmad Ya’kub, Bagus Joko Triono, Ramadhan Sakti Siregar, Agus Arifin, Wagimin, Yuliana, Sukardi, Sarwadi, Mugi Ramanu, Somairi, Muhammad Hasan, Nandang Wirakusumah, Erni, Agustiana, Eny Musrifah, dan I Wayan Tirja Nugraha. Mereka semua dari Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI).Kemudian, Janses E Sihaloho (dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia), Mohammad Reza (Front Perjuangan Pemuda Indonesia), Tonny Firman Kurniawan (Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia), Arcenio Perreira da Silva (Hasatil-Timor Leste), dan Yenni Rossa Damayanti (SP-Nasional).Dilaporkan juga bahwa para aktivis yang ditahan tidak diberi makan dan selimut. Keluhan serupa diutarakan aktivis asal India, Korea Selatan, dan lainnya. Mereka mengatakan para aktivis yang ditahan telah mendapatkan perlakuan buruk dari aparat Hongkong.


Demo Reformasi di Jakarta, Delapan Mahasiswa Dijadikan Tersangka

22 Mei 2003
TEMPO Interaktif, Jakarta:Delapan mahasiswa dijadikan tersangka dalam aksi unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR Jakarta hari Rabo kemarin (21/5).
Seperti diketahui, ribuan massa dari daerah Bandung dan Jakarta, melakukan unjuk rasa peringatan 5 tahun reformasi. Dalam aksi tersebut, sejumlah mahasiswa terlibat bentrok dengan aparat polisi. Sejumlah peserta demonstrasi juga dikabarkan menderita luka-luka akibat bentrok tersebut.
Juru bicara Polda Metro Jaya, Kombes Pol Prasetyo, mengatakan, kedelapan mahasiswa itu adalah Bimbi, Tuant, Alim Bara, Noviar bin Saleh, Mohammad Dawam, Andi Supriadi, M. Asbid, Mujahid, Agus Mulani dan Nandang Wirakusumah.
Dikatakan Prasetyo, mereka dijadikan tersangka karena melawan petugas dan demonstrasi tanpa ijin. Bimbi Misalnya, melempar bom molotov dan membakar bendera PPP di depan gedung DPR. “Mereka bisa dijerat pasal 124 KHUP melakukan perlawanan terhdap petugas secara bersama” kata Prasetyo, di Jakarta (22/5). Dengan tuduhan itu, mereka bisa diancam pidana tujuh hingga delapan tahun.
Para mahasiswa ini juga dituduh melakukan perusakan barang-barang disekitar lokasi seperti membakar pagar jalan tol, melempar fiber glass , bahkan menutup jalan tol. Mereka bisa dikenai pasal 170 KUHP tentang perusakan barang. Polda juga menyita barang bukti berupa satu unit mobil kijang, satu unit bus metro mini, dua pengeras suara, tali warna biru, satu amplifier, 16 batang bambu, lima bendera PPP dan 12 buah batu. (Dhian Nurrahmawaty Utami-TNR)



AKTIVIS KONGGRES INDONESIA BEBAS

6 aktivis Kongres Indonesia bebas di hari reformasi JAKARTA (AJInews, 20/5/98):

Pengadilan Jakarta Utara hari ini (20/5) menjatuhkan vonis kepada Ging Ginanjar, Ratna Sarumpaet, Alex , Nandang Wirakusumah dan Joel Taher oleh 2 bulan 10 hari. Sedangkan putri kandung Ratna Sarumpaet yaitu Fathom Saulina divonis 13 hari. Putusan majelis hakim tersebut persis sama dengan lama waktu penahanan terhadap mereka. Sehingga enam aktivis Konggres Indonesia itu saat ini sudah bebas di luar penjara. Pengadilan terhadap keenam aktifis Konggres Indonesia itu kemarin berjalan singkat dan selesai dalam satu hari. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum yang menjaring mereka dengan dakwaan primer UU No 5 PNPS 1963 dan dakwaan subsider pasal 156 KUHP serta lebih subsider pasal 218 KUHP menuntut hukuman masing-masing 3 bulan penjara dan kewajiban membayar biaya sidang sebesar Rp. 500. Namun, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan bahwa dakwaan primer dan subsider tidak terbukti. Dan para terdakwa hanya terbukti melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan lebih subsider pasal 218 KUHP yaitu menghiraukan perintah aparat keamanan. Sehingga kelima terdakwa dijatuhi hukuman masing-masing 2 bulan 10 hari potong masa tahanan dan khusus untuk Fathom Saulina hanya dijatuhi hukuman 13 hari potong tahanan. Seperti pernah diberitakan AJInews beberapa waktu lalu, bahwa keenam aktivis Konggres Indonesia itu ditangkap polisi ketika mengadakan acara Indonesian people summit (Konggres Indonesia) awal Maret yang lalu. Mereka, kecuali Ratna dan Fathom selama ini ditahan di Polda Metro Jaya dan hanya sekitar seminggu di pindah di tahanan Rumah tahanan Salemba. Ketika yang laki-laki dipindah ke Rutan Salemba, Ratna dipindah ke LP Tangerang. Sedangkan Fathom Saulina mendapat dispensasi tahanan luar setelah 13 hari ditahan di Polda Metro Jaya



DPR DAN MAHASISWA SEPAKAT: SOEHARTO TURUN ATAU SIDANG ISTIMEWA JAKARTA (AJInews, 20/5/98):

Pimpinan Dewan Pimpinan Rakyat Rabu pukul 18.00 sore ini membuat kesepakatan dengan perwakilan Senat-Senat Mahasiswa Indonesia. Kesepakatan tersebut berisi tentang batas waktu kepada Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri selambat-lambatnya Jumat besok. Apabila Presiden menolak mengundurkan diri pimpinan DPR/MPR akan memanggil pimpinan fraksi MPR melakukan persiapan pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Pimpinan DPR yang membuat kesepakatan dengan mahasiswa itu adalah Ketua DPR/MPR Harmoko, wakil ketua Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Ismail Hasan Metareum, dan Fatimah Achmad. Sedangkan dari kalangan mahasiswa terdiri atas 32 ketua senat mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan beberapa kota lainnya. "Hari Senin akan dibahas tentang persiapan sidang istimewa bila sampai Jumat besok Presiden menolak mengundarkan diri," kata Sarbini, juru bicara Senat Mahasiswa Indonesia. Juru bicara dari perwakilan Senat Mahasiswa yang hadir antara lain Rama Pratama (UI), Hanri Basel (IKIP Jakarta), Abdurahman (Universitas Mercu Buana), Irwan (Universitas Prof Dr Moestopo), Popon (UPN Veteran), dan Indra (Universitas Yarsi). Mahasiswa langsung menyambut dengan sorak-sorai gembira atas hasil kesepakatan yang dicapai. "Hancurkan Orde Baru," teriak mahasiswa. "Hidup Reformasi". Namun Harmoko dan Syarwan Hamid tidak bersedia memberikan keterangan, ketika didesak wartawan



MAHASISWA BANDUNG BERSATU DENGAN RAKYAT DUDUKI GEDUNG SATE BANDUNG

(AJInews, 20/5/98): Puluhan ribu massa yang terdiri dari mahasiswa dan rakyat berbaur di halaman Gedung Sate, Kantor Gubernuran Jawa Barat, hingga meluber sampai memenuhi Lapangan Gasibu. Mereka datang dari berbagai kampus melakukan long march secara tertib, serta sebagian naik bis. Wakil-wakil mahasiswa dan rakyat secara bergantian menyerukan 'reformasi damai' dan 'gantung Soeharto' di mimbar yang berada di tengah lapangan Gasibu itu. Mereka juga memajang poster-poster Soeharto yang telah dimodifikasi menjadi mirip Adolf Hitler serta wayang-wayang dengan profil Soeharto. Menjelang malam massa berangsur-angsur surut. Tentara yang berjaga-jaga dengan tameng rotan tidak sebanyak hari-hari sebelumnya. Hingga berita ini diturunkan, aksi damai di Bandung terus berlangsung.



PULUHAN RIBU MAHASISWA MENJAGA "KAMPUS SENAYAN" Baliho "Save the Campus" berkibar, mahasiswa berdatangan

(AJInews, 20/5/98): Di tengah puluhan ribu mahasiswa yang memadati Gedung Perwakilan Rakyat Senayan, berdampingan dengan bendera Merah Putih yang berkibar setengah tiang tampak bendera besar yang bertuliskan: Save the Campus". Agaknya, mahasiswa yang hadir di Senayan untuk sementara memilih kuliah di "Kampus Senayan". Hal ini dapat terlihat dengan berbondong-bondongnya mahasiswa yang terus berdatangan. Hingga berita ini diturunkan aparat keamanan cukup bersimpati. Mereka tidak terlihat garang. Setiap mahasiswa yang ingin masuk cukup memperlihatkan mahasiswa. Hal yang cukup menarik terjadi ketika Bambang Widjojanto hendak memasuki gedung DPR, seorang aparat keamanan dari kesatuan marinir -AL, memberi salam, "Pak Bambang, selamat berjuang!". Hal yang senada tampak ketika dua truk aparat keamanan masuk disambut hangat oleh mahasiswa, bahkan beberapa mahasiswa naik ke atas truk dengan mengibarkan bendera merah putih. Dan, beberapa prajurit tampak menyalami para mahasiswa. Namun di lain pihak, dari kejauhan di beberapa tempat-tempat strategis seperti di atas gedung-gedung tinggi yang mengitari DPR-RI tampak pasukan sniper berjaga-jaga. Sementara itu partisipasi dari berbagai kalangan terus berdatangan. Suara Ibu Perduli (SIP) dan beberapa organisasi perempuan memberikan bantuan logistik dengan membuka dapur umum di abgian belakang gedung baru DPR RI. Tampak juga beberapa truk air minum kemasan dikirim masuk ke gedung Dewan. Sementara itu beberapa stasiun radio setiap satu jam memberitakan perkembangan aksi mahasiswa ini. Bahkan sebuah radio FM menghimbau masyarakat untuk menunjukan dukungannya lewat mengirim spanduk reformasi kepada mahasiswa-mahasisa di Senayan.


Anggota DPRD Banten Siap DiperiksaJum'at,

23 Juli 2004 15:58 WIB
TEMPO Interaktif, Banten: Ketua DPRD Banten Dharmono K Lawi menyatakan siap diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPP) berkaitan dengan dugaan korupsi uang kompensasi rumah dinas DPRD senilai Rp 10,5 miliar. "Sebagai warga negara yang baik saya siap mendukung supremasi hukum di Banten. Kita ikuti proses hukum yang berjalan dan saya siap untuk diperiksa," kataDharmono K Lawi kepada wartawan di Serang, Jumat(23/7).Selain Dharmono, kesiapan anggota dewan diperiksa dalam kasus dugaan korupsi juga diutarakan Wakil Ketua DPRD Banten Muslim Djamaludin. Muslim mengatakan tak jadimasalah bila tim KPK datang ke Banten memeriksa 75 anggota DPRD. "Kami siap memberikan jawaban kepada penyidik dari KPK dalam mengusut dugaan korupsi di DPRD Banten," katanya.Muslim berkeyakinan anggota DPRD layak menerima uangkompensasi rumah dinas dengan alasan anggotanyabertempat tinggal tersebar di empat kabupaten dan duakotamadya di Banten. Uang kompensasi itu untukmemperlancar tugas anggota dewan agar tinggal di KotaSerang, sekaligus meningkatkan kinerja mereka. Selain itu, uang kompensasi itu sesuai dengan tata tertib (Tatib) DPRD Banten. Namun Muslim tidak mau menjelaskan pemberian uangkompensasi rumah dinas yang diterima Rp 130 juta peranggota DPRD justru semula tidak tercantum dalam APBD2003. Dalam Anggaran Belanja Tambahan (ABT) atauperubahan di akhir tahun, alokasi itu muncul dansumbernya diambil dari anggaran tidak terduga (TT)yang biasanya digunakan untuk menanggulangi bencanaalam, kemiskinan dan keadaan darurat lainnya. Dana itujuga dikeluarkan menjelang anggota dewan berakhir masatugasnya tahun 2004.Politisi dari Golkar itu juga tidak mau memperdebatkanPasal 119 Tatib DPRD Banten yang dijadikan dasar dewanuntuk memperoleh fasilitas perumahan. Dalam Tatib menyebutkan setiap anggota dewan berhak mendapatkanfasilitas rumah dinas, bukan uang kompensasi rumahdinas. Bahkan, Muslim berkilah, dana itu merupakanbentuk penghargaan kepada anggota dewan yang telahberhasil mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD),sehigga APBD Banten sekitar Rp 1,26 triliun. Baik Dharmono maupun Muslim Djamaludin beranggapandengan alasan penghargaan itu, KPK tidak bisa menjeratanggota dewan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.110yang mengatur penghasilan anggota dewan. Sebelumnya, Komite Persiapan Pergerakan Indonesia(KPPI) Banten mendatangi KPK meminta pengusutandugaan penyelewengan fasilitas rumah dinas bagi 75anggota DPRD senilai Rp 10,5 miliar. Menurut KetuaPresidium KPPI Banten, Wira Kusumah, penyelewengan itudilakukan secara berjamaah (bersama-sama) danberlindung dengan kesepakatan dan keputusan DPRD.Dalam pertemuan dengan anggota KPK, Wira Kusumahmengakui pihaknya menyerahkan temuan yang diharapkanmenjadi bukti awal untuk penyelidikan dugaan korupsibersama-sama di DPRD Banten. Selain itu, KPPI Bantenjuga minta KPK mengirimkan tim ke Banten untukmengusut tuntas kasus ini.Permintaan tim KPK dikirim ke Banten itu berlandaskanpenilaian, Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kepolisian Daerah (Polda) Banten bersikap kurang perduli dengan kasus dugaan korupsi anggota DPRD tersebut. Terbukti, hingga saat ini tidak satu pun orang yangdiduga terlibat diperiksa atau dimintai keteranganoleh Polda maupun Kejati Banten. Bahkan Kepala KejatiBanten, Fachran Sanyoto kepada wartawan menyatakanmasih bersikap diam menghadapi kasus ini, belummembentuk tim penyelidikan. Faidil Akbar - Tempo News Room
Banten


KPK Minta Kejagung Usut di DPRD Banten

Senin, 02 Agustus 2004 15:48 WIB T

TEMPO Interaktif, Banten:Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) minta Kejaksaan Agung (Kajagung) untuk mengusut dugaan korupsi dana fasilitas rumah dinas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten sebesar Rp 10,5 miliar. Permintaan KPK itu tertuang dalam surat No.427/KPK/VII/2004 yang dikirim pada tanggal 27 Juli2004. Isinya antara lain menyebutkan, Kejaksaan Agungberserta jajarannya ke bawah, termasuk KejaksaanTinggi (Kejati) Banten untuk memeriksa dan menyelidikilaporan atas penyalahgunaan APBD 2003. Dalam APBD itu terdapat uang kompensasi rumah dinas Rp 10,5 miliaruntuk 756 anggota dewan atau Rp 130 juta per anggota. "Kami memperoleh penjelasan ini ketika mendatangi KPK,Kamis pekan lalu. Rombongan kami diterima oleh WakilKetua KPK, Erry Eryana didampingi stafnya di bidangpengaduan masyarakat, Edi Karim," kata Eka Laksmana,Ketua Presidium Komite Pergerakan Perjuangan Indonesia(KPPI) Banten kepada wartawan, Senin (2/8) di Serang.Rombongan yang mengadu KPK di Jakarta itu merupakangabungan dari sejumlah LSM, organisasi masyarakat,organisasi mahasiwa dan lainnya seperti KPPI, LSMLembaga Advokasi Masalahy publik (LAPM), HimpunanMahasiswa Banten dan beberapa LSM lain. Mereka mengadu dugaan korupsi ini ke KPK karena aparatpenegak hukum, dalam hal ini Polda Banten danKejaksaan Tinggi (Kajati) Banten hingga sekarangmendiamkan kasus itu, meski mereka telah mendesakbeberapa kali melalui surat pengaduan, dan melakukanaksi demo.Eka mengatakan, Wakil Ketua KPK, Erry Eryana berjanji,KPK akan terus memantau pelaksanaan surat tersebut.Jika tidak ada tanggapan, maka KPK akan mengambiltindakan yang nyata untuk menuntaskan dugaanpenyelewengan fasilitas rumah dinas DPRD Banten Rp10,5 miliar. Sementara itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum(Kasipenkum) Kejati Banten, Parwoto yang dihubungiterpisah menyatakan belum menerima surat dari KPK soalpermintaan pengusutaan dugaan penyelewengan danafasilitas rumah dinas DPRD. "Kami justru menunggu.Setahu saya hingga sekarang belum ada surat semacamitu. Tanyakan saja ke Asintel," kata Parwoto. Sebelumnya, para anggota DPRD Banten menyatakan siapmenghadapi pengusutan yang dilakukan KPK dalam kasusdugaan penyalahgunaan APBD 2003.




Kejati Didesak Tuntaskan Kasus Fasilitas Rumah DPRD Banten Serang, Sinar Harapan

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten kembali didesak sejumlah elemen masyarakat di Banten untuk serius menangani kasus dugaan korupsi fasilitas rumah dinas DPRD Provinsi Banten senilai Rp 10,5 miliar yang tercantum dalam APBD tahun 2003.Alasannya, Kejati tidak serius menangani kasus yang telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Desakan elemen masyarakat terus mengalir ke Kantor Kejati. Terakhir, Komite Pergerakan Perjuangan Indonesia (KPPI) Banten berdemo di halaman Kantor Kejati, Selasa (24/8). Sehari sebelumnya, sekelompok mahasiswa dari berbagai organisasi kemahasiswaan di Banten juga melakukan hal serupa. ”Tolong kami. Adik-adik dan kawan-kawan jangan terus mendemo. Kami merasa terganggu, biarkan kami berkerja dengan baik. Kalau setiap hari ada demo, waktu kami habis untuk melayani kalian. Padahal waktu itu bisa digunakan untuk pemeriksaan,” kata Sutardjo, Asisten Intel Kejati Banten ketika menerima 20 orang yang merupakan perwakilan dari KPPI Banten, Selasa (24/8).Asisten Intel Kejati Banten, Sutardjo yang didampingi Kasi Intel Kejaksaan Negeri Serang, Yusuf dan Kasi Penkum Kejati Banten, Parwoto mengatakan, pihaknya terus mengumpulkan keterangan dan bukti-bukti berkaitan dengan dugaan korupsi fasilitas rumah dinas anggota DPRD senilai Rp 10,5 miliar. ”Status masih dalam penyelidikan. Jika ditemukan bukti atas dugaan korupsi itu, statusnya akan ditingkatkan menjadi penyidikan yang berarti aparat kejaksaan berwenang untuk memanggil paksa dan menahan tersangka,” ujar Sutardjo. Tak SeriusSementara itu, koordinator lapangan aksi demo KPPI, Asep membacakan tiga butir pernyataan terhadap Kejati Banten yang berisi antara lain meminta Kejati meningkatkan status pemeriksaan dugaan korupsi fasilitas rumah dinas dari penyelidikan menjadi penyidikan. Bahkan penanganan kasus ini diupayakan tuntas hingga ke pengadilan. ”Kami mencatat, banyak kasus dugaan korupsi yang berakhir tidak jelas bagi masyarakat dan tidak pernah sampai di pengadilan. Misalnya kasus suap-menyuap 20 anggota DPRD Kota Tangerang dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) periode 2003-2008. Jelas-jelas telah terjadi suap-menyuap antara calon wali kota dengan anggota dewan. Kasusnya ditangani Kejati Banten, tapi tidak jelas sekarang,” ujar Asep.Hal serupa juga terjadi pada kasus tanah Karangsari Rp 5 miliar di Pandeglang, jalan tol di Tangerang yang menggunakan tanah kavling para guru dan proyek rehab rumah sakit umum daerah (RSUD) Adjidarmo Rangkasbitung, Kabupaten Lebak senilai Rp 1,8 miliar. Asep menyatakan, kasus dugaan korupsi rumah dinas anggota dewan yang diubah menjadi uang kompensasi untuk 75 anggota dewan atau Rp 130 juta per anggota dewan sudah dilaporkan ke KPK. Menurut keterangan, KPK malah sudah mengirimkan surat ke Kejaksaan Agung agar memerintahkan aparatnya untuk menuntaskan kasus tersebut. Ketua DPRD Banten Dharmono K Lawi yang dihubungi SH di Jakarta menyebutkan, secara prinsip pihaknya akan membantu kelancaran pihak kejaksaan jika sekiranya akan melakukan proses hukum. Namun ia mengingatkan agar semua pihak menghormati proses hukum itu sehingga tidak merembet ke masalah politik.”Di dalam proses hukum itu bisa kita lihat apakah anggota dewan melanggar hukum atau tidak. Saya melihat, ada upaya sejumlah kalangan untuk menggerogoti kekuasaan dewan,” ujarnya. (imn/wip)



PRESS RELEASE FOLKER 98
KEMANUSIAAN DAN IDENTITAS KITA
TOLAK BEBASNYA SOEHARTO

Kemarin Soeharto Telah Banyak Peristiwa
Soeharto adalah manusia bagian dari kita, dimana kitapun sangat mungkin mencintainya dalam rangka mempertahankan keinginan tunggal dalam keselarasan dan kelangsungan kemanusiaan. Sebab “kemanusiaan”, selain mimpi buruk adalah juga teologi, cinta, harapan bahkan perkara identitas.
Dengan demikian beberapa bentuk penolakan atas proyek diampuninya Soeharto sangat mungkin menjadi bagian dari proses kembali mencintai kemanusiaan. Sangat kasihan, apabila seseorang diampuni bila pengampunan itu atas dasar sedang sakit atau sepuh, itu sama artinya dengan penghinaan. Penghinaan akan menjadi kultur, tradisi atau bisa pula menjadi bagian dari target.
Pengampunan semacam ini adalah pengampunan yang justru lalim pada prospek kemanusiaan selanjutnya, sedang kemanusiaan adalah juga keimanan. Lalai dari kemanusiaan berarti abai pada aspek spiritual kehidupan. Dan pengampunan bukan cara memberi identitas.
Peristiwa Terakhir Kemudian
Bebasnya mantan presiden tiran Soeharto dengan dikeluarkannya SK.P3 (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara) pada tanggal 11 Mei 2006 yang menandakan bahwa keadilan tidak mendapat tempat dalam menegakan hukum di Indonesia. Apalagi jika berdasarkan pasal 4 MPR No. XI/MPR/1998 pada tanggal 13 November 1998 yang menyatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme, harus tegas dilakukan terhadap siapapun baik pejabat negara, keluarga atau kroni, swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden sendiri dan kroni, maka sudah sangat layak apabila keadilan dan mendapat tempat kembali dibumi Indonesia. Mengingat masa 32 Tahun Soeharto berkuasa seharusnya kini merupakan masa akumulasi kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat, jika sepanjang masa kekuasaannya itu tidak melakukan penindasan dan negara dikelola dengan benar.
Mengenang masa menakutkan, menggetirkan, menyedihkan dan sangat represif dibawah tekanan kekuasaan rejim Soeharto yang penuh kekerasan dan kepentingan ambisi kekuasaan pribadi, serta dengan melihat ketidak adilan hukum saat ini (sangat permisif dan mudah dilakukan). Untuk itu FOLKer (Forum Lintas Kerakyatan) yang merupakan wadah komunitas bagi para aktivis yang pernah melawan dan menjadi korban rejim Soeharto pada decade 70-an hingga tahun 1998 menyatakan ;
1.Menolak bebasnya mantan Presiden Soeharto dari tuntutan hukum dengan dianggap selesainya kasus tersebut berdasarkan pada fakta-fakta historis dimasa lalu yang sarat dengan kekejaman, despotism, kejahatan korupsi, dan tindak kesewenang-wenangan lainnya.
2.Dengan bebasnya Soeharto maka merupakan kegagalan reformasi penegakan hukum dan proses penyadaran hukum bagi masyarakat.
3.Tetap usut tuntas kekayaan Cendana dan kroni Orde Baru sebagai amanat agenda reformasi.

Bercermin pada masa lalu kami berharap pada tanggal 1 Juni 2006 yang merupakan Hari Lahirnya Pancasila ini, merupakan refleksi kesadaran diri kita dalam bertindak untuk TIDAK melakukan :
Keserakahan yang maha esa
Kemanusiaan yang tidak adil dan biadab
Persatuan dan Kesatuan yang direkayasa dan mudah diadu domba
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan yang salah kaprah dan merugikan orang banyak.
Keadilan Sosial bagi segelintir orang saja.
Serang. 1 Juni 2006
FOLKer 98 terdiri dari para mantan aktivis mahasiswa pada decade 80-an hingga tahun 1998 yaitu : M. Al Faris, Teguh Iman Prasetya, Ali Suro, Eka Satialaksamana, M. Yulis Martawena, Manar Mas, Heri Sanjaya, Heru, Firdaus Ghozali, Arif Sanjaya, Nandang Wirakusumah




PERNYATAAN SIKAP
GERAKAN MASYARAKAT PANDEGLANG PEDULI PETANI
(GEMPPA)


Akankah Niat Luhur Petani Cibaliung,
Harus Dibayar Dengan Penjara ?


Petani Cibaliung yang sudah hampir sepuluh tahun berjuang untuk mendapatkan kembali hak atas tanah yang diklaim oleh PT Perhutani BKPH III Cikeusik KPH Banten baru saja mengalami kekerasan yang dilakukan aparat keamanan lokal, mandor PT Perhutani BKPH III Cikeusik beserta para preman bayaran pada 11-13 November 2001, seperti penangkapan 49 petani tanpa surat penangkapan, pengrusakan tanaman organik, pembakaran lumbung padi organik, 67 rumah, 1 sekolah hijau serta 1 koperasi yang dikelola oleh para perempuan anggota organisasi Serikat Petani Perempuan Banten.

Kekerasan yang dilakukan secara sistematis dan terencana oleh aparat pemerintah lokal dan PT Perhutani yang selama kurang lebih dua puluh tahun merampas tanah petani Cibaliung yang jelas memiliki bukti kepemilikan atas tanah ini adalah untuk kedua kalinya. Pada Desember 1999, aparat PT Perhutani dan Polisi juga pernah melakukan kekerasan yang sama.

Empat puluh petani yang diangkut dan menjalani proses pemeriksaan tanpa diberikan akses sedikit pun untuk didampingi atau bahkan bertemu semenit saja dengan pengacaranya memang kini sudah dibebaskan. Namun hingga kini, 9 petani Cibaliung masih ditahan di LP Pandeglang dan tengah menjalani masa persidangan dengan dakwaan Primair : pasal 50 ayat (3) huruf e jo. pasal 78 ayat (5) UU Nomor 41 1999 tentang Kehutanan jo. pasal 55 ayat (1) ke 1 KHU Pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan Subsidair : 363 ayat 1 ke-4 KUHP, dengan ancaman hukuman penjara 10 tahun dan denda lima milyar.

Perjuangan luhur petani Cibaliung guna menegakan reformasi agraria sebagaimana menjadi amanat Undang-Undang Dasar 1945 justru malah dikriminalisasi. Perjuangan mulia petani Cibaliung guna memenuhi kebutuhan pangan manusia dan mendukung program pemerintah dalam menciptakan ketahanan pangan justru dinistakan. Perjuangan petani Cibaliung guna memerangi kemiskinan sebagaimana menjadi amanat Allah SWT justru diperlakukan secara tidak adil. Saat ini, Pemerintahan Kabupaten Pandeglang sebagai pelaksana kebijakan pemerintah di era otonomi daerah bersama dengan pengusaha sektor Kehutanan yang rakus, secara sistematis mencoba terus menggusur Hak-Hak Asasi Petani Cibaliung sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Saat ini, pemerintahan Kabupaten Pandeglang dan pengusaha sektor kehutanan yang zalim mencoba menggunakan Pengadilan sebagai alat legitimiasi mengeyahkan hak-hak ekonomi, politik, sosial, dan budaya petani Cibaliung. Bukan tidak mungkin penyakit lama yang sudah membusuk, keji dan biadab ini ditularkan kepada aparat pemerintahan Kabupaten lainnya di Banten dan Indonesia guna menggusur atau meredam perjuangan rakyat/petani dalam merebut kembali haknya atas tanah dan sumber agraria lainnya.

Pak Jamali (75), salah seorang dari sembilan (9) petani Cibaliung yang sudah jompo, yang terpaksa selama hampir enam (6) bulan harus berada dalam tahanan karena perbuatan yang diyakininya adalah benar berdasarkan daya nalarnya sendiri, saat ini tengah menunggu vonis dewan hakim. Dari fakta-fakta di persidangan terbukti bahwa tujuan Pak Jamali hanyalah bagaimana dapat menghuma atau berladang untuk menanam padi, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya disisa-sisa tenaga yang dimiliki karena usia. Tapi ternyata niat luhurnya harus ditebus dengan penjara. Sepertinya tak ada lagi penyelesaian yang lebih layak bagi seorang Pak Jamali di sisa usianya di negara ini.

Membiarkan tanah petani Cibaliung dirampas Perhutani berarti membiarkan usaha pemusnahan kehidupan ribuan petani kecil terus berlangsung di negara yang subur ini. Mengkriminalisasi perjuangan petani Cibaliung untuk memperoleh kembali hak atas tanah dan sumber agraria lainnya adalah melawan amanat Program Dewan Ketahanan Pangan Nasional yang diketuai oleh Presiden Megawati Sukarnoputri. Menunda-nunda pemeriksaan para pelaku tindak kekerasan terhadap petani Cibaliung justru malah akan menambah semangat perjuangan petani lainnya di Banten dalam merebut kembali haknya. Menuding para pejuang petani melalui media publik sebagai provokator adalah justru menunjukan kebodohan dan keawaman kepada publik.

Berdasarkan pemahaman diatas maka Kami, Gerakan Masyarakat Pandeglang Peduli Petani (GEMPPA) yang terdiri dari berbagai elemen pro rakyat yang murni menuntut pada Majelis Hakim untuk MEMBEBASKAN 9 PETANI CIBALIUNG DARI SEGALA DAKWAAN DAN TUNTUTAN.

Demikian Surat Pernyataan Sikap ini kami buat, semoga hukum masih dapat melindungi orang-orang yang terjepit dari kerakusan pengusaha dan penguasa dan semoga lembaga peradilan tidak menjadi alat penghilangan hak-hak Ekonomi, Poltitik, Sosial, dan Budaya masyarakat. Semoga Allah SWT meridhoi perjuangan kami, menegakan kedaulatan petani dan menegakan reformasi agraria guna mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di bumi Pandeglang khususnya dan di propinsi Banten umumnya.

Tertanda,
Gerakan Masyarakat Pandeglang Peduli Petani
(GEMPPA)


Kekerasan Perhutani di Blora dan Banten
Peristiwa-peristiwa yang diuraikan di bawah ini menunjukkan bahwa perusahaan hutan milik negara, Perhutani, tetap merupakan perusahaan seperti pada masa Suharto, yang menggunakan kekerasan dan intimidasi dalam menghadapi perlawanan dari masyarakat terhadap rencana-rencana mereka. Tindakan itu merusak upaya-upaya perusahaan untuk menampilkan diri kepada pembeli asing sebagai produser yang maju secara sosial dan lingkungan.
Sebelumnya Perhutani telah menghadapi kesulitan untuk mendapatkan sertifikat yang dikeluarkan oleh organisasi eko-labelling, The Forest Stewardship Council (FSC). Pada bulan Agustus 2001, Smartwood, pemberi sertifikat yang dikeluarkan FSC, menunda pemberian sertifikat kayu dari empat perkebunan Perhutani di Jawa (Untuk latar belakang, lihat
DTE 51). Tahun ini, LSM kehutanan Indonesia, LATIN, menarik diri dari hubungan mereka dengan Smartwood berkaitan dengan persoalan sertifikasi terhadap unit-unit Perhutani. Oleh karena itu, kekerasan dan perusakan di Blora dan Banten sama sekali tidak memberikan sumbangan bagi perbaikan citra Perhutani.
Penyiksaan sampai mati di Blora
Seorang pria berusia 40 tahun tewas setelah disiksa oleh petugas Perhutani. Menurut laporan media setempat yang disebarkan oleh LSM ARuPA, Wiji, yang berasal dari desa Jomblang, (Kecamatan Jepon, Jawa Tengah) ditangkap pada bulan Oktober oleh staf Perhutani saat dalam perjalanan pulang setelah membeli kayu dari Payaman, sebuah desa yang terletak di tanah hutan di kecamatan Jiken. Setelah disiksa oleh petugas Perhutani KPH Cepu selama tiga jam, Wiji akhirnya jatuh koma dan mengeluarkan darah dari kupingnya. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit dan meninggal beberapa hari kemudian. Keluarganya menuntut kompensasi untuk biaya perawatan dan rumah sakit serta kerugian lainnya, dan menuntut pula agar orang yang bertanggungjawab dipecat.
Sebagai tanggapan, Perkumpulan Kepala Desa Kabupaten Blora mengeluarkan daftar tuntutan, termasuk penyelesaian segera kekerasan dan penyiksaan terhadap penduduk Blora; hukuman kepada orang yang bertanggungjawab; perubahan manajemen hutan di Blora dengan tujuan memberikan keuntungan bagi penduduk desa yang tergantung pada hutan, dan pembentukan kelompok kerja untuk memonitor tindakan-tindakan yang dilakukan Perhutani dalam menangani konflik perhutanan. (Sumber: Radar Bojonegoro 14/Oct/02; ARuPA 20/Oct/02 dan lainnya)
Banten: petani masih terus jadi korban
Staf Perhutani telah melakukan penangkapan dan pembakaran rumah-rumah di desa Cibaliung, Banten, dalam upaya mereka mengusir para petani dari lahan yang diklaim perusahaan
Dalam serangkaian peristiwa pada bulan September dan Oktober 2002, orang-orang Perhutani membakar dan merusak sedikitnya 56 rumah, merusak tanaman dan membakar ruang pertemuan desa yang digunakan oleh petani. Orang-orang tersebut juga melontarkan ancaman kepada petani dan keluarga mereka yang menolak untuk menghentikan menanam di atas lahan tersebut.
Pada akhir bulan Oktober, dua petani Cibaliung ditangkap. Salah seorang di antara mereka, Roji (45), ditangkap oleh staf Perhutani dan Polisi, yang menembakkan ke udara saat para petani mencoba mencari tahu kenapa ia ditangkap. Tahanan kedua, Durahman (85), juga ditangkap polisi. Sebelumnya Roji diberitahu oleh para staf Perhutani supaya ia menanam pohon jati di atas lahan yang ingin dijadikannya sebagai lahan pertanian.
Pembakaran, penangkapan dan ancaman-ancaman adalah kelanjutan dari aksi kekerasan dan intimidasi oleh Perhutani terhadap para petani Cibaliung. Akhir November lalu, 47 petani dikepung dalam serangan subuh di desa mereka. Beberapa diantara mereka diborgol dan dipukuli selama penyerangan tersebut, yang melibatkan anggota Brimob dan militer bersenjata. Saat di tahanan, rumah dan harta benda mereka dibakar. Para petani ditangkap karena sebelumnya mereka telah menduduki kembali lahan mereka, yang telah diambil alih oleh Perhutani pada tahun 1980. (Untuk keterangan lebih lanjut, lihat
DTE 52)
Dari kesembilan petani, kecuali satu orang, adalah anggota Serikat Petani Banten. Mereka semua masih dalam tahanan. Mereka dituduh atas dasar pencurian kayu dan perusakan hutan di bawah Undang-Undang Kehutanan 1999 dan pada bulan Mei tahun ini, mereka dihukum antara satu tahun dan satu tahun sepuluh bulan. Anggota serikat lainnya, Dasa (54), ditangkap pada bulan Juni 2002.
Konflik tanah di Banten adalah satu dari dua kasus yang diselidiki pada bulan April tahun ini oleh tim pencari fakta internasional dari kelompok HAM dan gerakan petani dari 6 negara (Jerman, Jepang, Filipina, Malaysia, Thailand dan Timor-Timur) dan anggota-anggota organisasi petani lainnya dari berbagai propinsi di Indonesia. Misi ini dilakukan sebagai bagian dari Kampanye Global untuk Reforma Agraria, yang diluncurkan oleh FIAN International dan La Via Campesina.
Pada bulan Februari, dua organisasi mengeluarkan seruan kepada para warganegara yang peduli untuk menulis surat kepada Presiden Megawati, mendesaknya untuk menyelidiki persoalan tersebut dan menjamin bahwa tanah dikembalikan kepada petani penggarap.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
fian@fian.org, http://www.fian.org atau viacam@gbm.hn
Kekerasan Perhutani di Blora dan Banten
Peristiwa-peristiwa yang diuraikan di bawah ini menunjukkan bahwa perusahaan hutan milik negara, Perhutani, tetap merupakan perusahaan seperti pada masa Suharto, yang menggunakan kekerasan dan intimidasi dalam menghadapi perlawanan dari masyarakat terhadap rencana-rencana mereka. Tindakan itu merusak upaya-upaya perusahaan untuk menampilkan diri kepada pembeli asing sebagai produser yang maju secara sosial dan lingkungan.
Sebelumnya Perhutani telah menghadapi kesulitan untuk mendapatkan sertifikat yang dikeluarkan oleh organisasi eko-labelling, The Forest Stewardship Council (FSC). Pada bulan Agustus 2001, Smartwood, pemberi sertifikat yang dikeluarkan FSC, menunda pemberian sertifikat kayu dari empat perkebunan Perhutani di Jawa (Untuk latar belakang, lihat
DTE 51). Tahun ini, LSM kehutanan Indonesia, LATIN, menarik diri dari hubungan mereka dengan Smartwood berkaitan dengan persoalan sertifikasi terhadap unit-unit Perhutani. Oleh karena itu, kekerasan dan perusakan di Blora dan Banten sama sekali tidak memberikan sumbangan bagi perbaikan citra Perhutani.
Penyiksaan sampai mati di Blora
Seorang pria berusia 40 tahun tewas setelah disiksa oleh petugas Perhutani. Menurut laporan media setempat yang disebarkan oleh LSM ARuPA, Wiji, yang berasal dari desa Jomblang, (Kecamatan Jepon, Jawa Tengah) ditangkap pada bulan Oktober oleh staf Perhutani saat dalam perjalanan pulang setelah membeli kayu dari Payaman, sebuah desa yang terletak di tanah hutan di kecamatan Jiken. Setelah disiksa oleh petugas Perhutani KPH Cepu selama tiga jam, Wiji akhirnya jatuh koma dan mengeluarkan darah dari kupingnya. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit dan meninggal beberapa hari kemudian. Keluarganya menuntut kompensasi untuk biaya perawatan dan rumah sakit serta kerugian lainnya, dan menuntut pula agar orang yang bertanggungjawab dipecat.
Sebagai tanggapan, Perkumpulan Kepala Desa Kabupaten Blora mengeluarkan daftar tuntutan, termasuk penyelesaian segera kekerasan dan penyiksaan terhadap penduduk Blora; hukuman kepada orang yang bertanggungjawab; perubahan manajemen hutan di Blora dengan tujuan memberikan keuntungan bagi penduduk desa yang tergantung pada hutan, dan pembentukan kelompok kerja untuk memonitor tindakan-tindakan yang dilakukan Perhutani dalam menangani konflik perhutanan. (Sumber: Radar Bojonegoro 14/Oct/02; ARuPA 20/Oct/02 dan lainnya)
Banten: petani masih terus jadi korban
Staf Perhutani telah melakukan penangkapan dan pembakaran rumah-rumah di desa Cibaliung, Banten, dalam upaya mereka mengusir para petani dari lahan yang diklaim perusahaan
Dalam serangkaian peristiwa pada bulan September dan Oktober 2002, orang-orang Perhutani membakar dan merusak sedikitnya 56 rumah, merusak tanaman dan membakar ruang pertemuan desa yang digunakan oleh petani. Orang-orang tersebut juga melontarkan ancaman kepada petani dan keluarga mereka yang menolak untuk menghentikan menanam di atas lahan tersebut.
Pada akhir bulan Oktober, dua petani Cibaliung ditangkap. Salah seorang di antara mereka, Roji (45), ditangkap oleh staf Perhutani dan Polisi, yang menembakkan ke udara saat para petani mencoba mencari tahu kenapa ia ditangkap. Tahanan kedua, Durahman (85), juga ditangkap polisi. Sebelumnya Roji diberitahu oleh para staf Perhutani supaya ia menanam pohon jati di atas lahan yang ingin dijadikannya sebagai lahan pertanian.
Pembakaran, penangkapan dan ancaman-ancaman adalah kelanjutan dari aksi kekerasan dan intimidasi oleh Perhutani terhadap para petani Cibaliung. Akhir November lalu, 47 petani dikepung dalam serangan subuh di desa mereka. Beberapa diantara mereka diborgol dan dipukuli selama penyerangan tersebut, yang melibatkan anggota Brimob dan militer bersenjata. Saat di tahanan, rumah dan harta benda mereka dibakar. Para petani ditangkap karena sebelumnya mereka telah menduduki kembali lahan mereka, yang telah diambil alih oleh Perhutani pada tahun 1980. (Untuk keterangan lebih lanjut, lihat
DTE 52)
Dari kesembilan petani, kecuali satu orang, adalah anggota Serikat Petani Banten. Mereka semua masih dalam tahanan. Mereka dituduh atas dasar pencurian kayu dan perusakan hutan di bawah Undang-Undang Kehutanan 1999 dan pada bulan Mei tahun ini, mereka dihukum antara satu tahun dan satu tahun sepuluh bulan. Anggota serikat lainnya, Dasa (54), ditangkap pada bulan Juni 2002.
Konflik tanah di Banten adalah satu dari dua kasus yang diselidiki pada bulan April tahun ini oleh tim pencari fakta internasional dari kelompok HAM dan gerakan petani dari 6 negara (Jerman, Jepang, Filipina, Malaysia, Thailand dan Timor-Timur) dan anggota-anggota organisasi petani lainnya dari berbagai propinsi di Indonesia. Misi ini dilakukan sebagai bagian dari Kampanye Global untuk Reforma Agraria, yang diluncurkan oleh FIAN International dan La Via Campesina.
Pada bulan Februari, dua organisasi mengeluarkan seruan kepada para warganegara yang peduli untuk menulis surat kepada Presiden Megawati, mendesaknya untuk menyelidiki persoalan tersebut dan menjamin bahwa tanah dikembalikan kepada petani penggarap.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
fian@fian.org, http://www.fian.org atau viacam@gbm.hn


Tidak ada komentar: